admin Economy berita hari ini, berita terkini, berpikir dan menjadi kaya, berpikir kritis, crazy rich surabaya, ekonomi, ekonomi dunia, ekonomi menjadi kaya, ekonomi tiongkok, indonesia berargumen, indonesia beropini, kaya raya, menjadi kaya 0
Pada tahun 2013, pemerintah Tiongkok mengumumkan agenda kebijakan yang menjanjikan reformasi nyata pada perekonomian yang sarat dengan utang dan terdistorsi oleh pengaruh sektor badan usaha milik negara (BUMN) yang berukuran besar. Tapi bukannya memastikan agenda tersebut berjalan, Tiongkok memilih untuk menghindari risiko yang terdapat dalam ekonomi pasar, dan hingga saat ini memilih untuk menerapkan apa yang paling diketahuinya: kendali negara terhadap perekonomian dan perasaan stabil yang ditimbulkannya.
Sejak tahun 2017, The China Dashboard, yang merupakan proyek bersama Asia Society Policy Institute dan Rhodium Group, sudah memantau kebijakan perekonomian Tiongkok. Setelah menganalisis data obyektif sepuluh area penting perekonomian negara ini, kami menemukan bahwa perekonomian Tiongkok hanya mengalami sedikit reformasi dan bahkan tidak ada reformasi sama sekali dalam tiga tahun terakhir.
Kegagalan pemerintahan Tiongkok dalam merealisasikan janjinya untuk mempunyai perekonomian yang lebih terbuka telah mengurangi kredibilitasnya, dan semakin meningkatnya reaksi buruk di tingkat global yang sekarang dialami. Bahkan sebelum COVID-19 melanda, kurangnya reformasi sudah melemahkan kinerja perekonomian Tiongkok dan menyebabkannya terlalu bergantung pada utang, dan semakin mematahkan semangat dari sektor swasta dalam negeri.
Saat ini, Tiongkok berada di sebuah persimpangan jalan. Krisis COVID-19 menyebabkan turunnya perekonomian sebesar 6,8% pada tiga bulan pertama tahun ini – kontraksi perekonomian triwulanan pertama (yang diakui) dalam sejarah Tiongkok. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari 25 tahun, Tiongkok tidak mengumumkan target pertumbuhan.
Selain itu, karena utang saat ini adalah permasalahan yang lebih besar di Tiongkok dibandingkan pada tahun 2013, maka pemerintah tidak punya pilihan untuk melakukan stimulus dalam skala yang lebih besar seperti yang dilakukan ketika dan setelah krisis keuangan global pada tahun 2008. Menambah jumlah utang hanya akan memperburuk risiko terhadap perekonomian yang ada saat ini, yang mencakup gelembung pasar properti dan membengkaknya sektor perbankan yang, setelah peningkatan portofolio pinjaman sebesar empat kali lipat selama dekade terakhir, sudah berada di atas tumpukan utang berisiko tinggi.
Pemerintah Tiongkok kembali menempatkan reformasi dalam agenda mereka setelah dihadapkan pada risiko ini. Pada tanggal 9 April, pemerintah Tiongkok mengeluarkan rencana meningkatkan “alokasi faktor-faktor produksi berdasarkan pasar.” Dan rencana itu diikuti dengan manifesto yang mencakup spektrum yang luas pada tanggal 18 Mei yang mengangkat kebijakan “pengutamaan lapangan kerja” ke tingkat kebijakan fiskal dan moneter tradisional. Agenda reformasi yang baru mengakui pentingnya persaingan, dan mengusulkan perlindungan yang lebih baik bagi perusahaan swasta, hak kekayaan intelektual, dan rahasia dagang. Pemerintah juga sudah membuat pernyataan mengenai penguatan mekanisme penetapan harga pasar, formalisasi hak-hak properti, dan membatasi intervensi administratif dalam aktivitas pasar.
Langkah-langkah di atas adalah hal yang baik. Tapi apakah dunia bisa mempercayai Tiongkok kali ini? Pemerintah Tiongkok belum menjelaskan mengapa rencana reformasi tahun 2013 tidak jadi diterapkan, dan janji-janji reformasi yang baru belum dirinci (yang merupakan tahap tersulit dalam pembuatan rencana).
Sementara itu, setelah dikejutkan dengan kesalahan langkah pada tahap awal pembendungan COVID-19 di Tiongkok, perusahaan-perusahaan asing semakin khawatir dengan semakin meningkatnya ketegangan Sino-Amerika, dan berusaha untuk mendiversifikasi investasi mereka ke negara-negara lain. Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan swasta Tiongkok menangguhkan belanja modal yang lebih lanjut. Kalau peralihan dalam dunia usaha ini terus berlanjut, maka hal ini akan menghambat kemampuan Tiongkok untuk pulih dari krisis ini.
Selain itu, keputusan Tiongkok untuk menerapkan undang-undang keamanan baru di Hong Kong semakin memperburuk tantangan perekonomian mereka. Tampaknya, pemerintah Tiongkok mau menerima kerugian perekonomian yang besar dan kemarahan negara-negara lain demi membuat Hong Kong lebih tunduk. Tapi kalau kekerasan kembali terjadi di Hong Kong, dan kalau Tiongkok merespons dengan tindakan represif yang ekstrem dalam undang-undang baru ini, maka perusahaan-perusahaan asing akan punya lebih sedikit insentif untuk tetap berada di Tiongkok, dan hal ini akan semakin memperburuk prospek perekonomian Tiongkok.
COVID-19 adalah ujian terbesar bagi perekonomian Tiongkok selama beberapa dekade terakhir. Hikmah dari COVID-19 bagi para pemimpin Tiongkok adalah bahwa krisis ini memberikan mereka peluang untuk melakukan reorientasi perekonomian Tiongkok agar mengalami pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang melalui pembukaan pasar. Apakah Presiden Tiongkok Xi Jinping akan menerima kenyataan ini dan meraih peluang yang ada? Atau apakah ia akan kembali meneruskan pendekatannya yang telah gagal setelah tahun 2013, ketika banyak janji reformasi dikorbankan karena rasa takut akan perubahan dan ketidakstabilan yang bisa terjadi dalam perubahan?
Kevin Rudd, mantan perdana menteri Australia, adalah Presiden Asia Society Policy Institute. Daniel Rosen adalah founding partner Rhodium Group.