Seri Psikologi Moral
Ditulis oleh Johanes Narasetu
Gambar sampul The Aviator, oleh Bung Carol
Hubungan imajinasi atau khayalan dengan kenyataan adalah salah satu tema yang saya ajukan dalam pelajaran humaniora kelas tujuh di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Menariknya, bukan hanya murid-murid memahaminya, mereka juga mampu berpikir secara disiplin untuk menelisik faedah imajinasi atau khayalan. Inilah yang hendak saya bagikan di sini.
Imajinasi atau khayalan memang pertama-tama merupakan produk pikiran. Namun gegabah bila mengatakan bahwa tak ada faedah yang diajukannya. “Jangan mimpi siang bolong, lu!” “Ah, ngayal aja, lu”, dan pernyataan sinis lainnya. Ujaran senada ini memang tidak sepenuhnya salah, namun gegabah bila ditelan bulat-bulat. Filosofi, khususnya etika dan fenomenologi, dapat mendekatinya secara lain.
Khayalan memang adalah buah pikiran. Sifatnya abstrak, artinya tak tercerap indera. Kecuali produk pikiran ini tertuang dalam tindakan atau karya, maka takkan ada orang yang memahaminya. Belum lagi bila kita memasukkan contoh-contoh gangguan jiwa seperti schizophrenia, gender dysphoria, dsb., akan semakin mudah memisahkan khayalan dari kenyataan. Betapapun ngotot, bersikeras bahwa benda-benda mati berbicara pada kita atau mengatakan bahwa saya adalah perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki jelas keliru dan dapat dengan tegas diverifikasi.
Akan tetapi, abstrak atau mengawang-awang tidak berarti bahwa khayalan kita tak memiliki nilai kenyataan. Dalam ranah minimal, khayalan atau imajinasi bersifat nyata sekurang-kurangnya bagi pemilik khayalan. Maksudnya, perlulah memisahkan antara telaah mengenai kebenaran isi pikiran dengan derajat kenyataannya, apalagi bila kenyataan dibatasi hanya sebagai fakta empiris yang dapat diselidiki dengan panca indera. Dalam kasus schizophrenia dan gender dysphoria, kita dapat dengan jelas melihat bahwa radio jelas benda mati yang tak dapat berbicara pada saya, dan jelas ada bukti fisik yang mengungkapkan bahwa saya adalah laki-laki, bukan perempuan. Namun kesalahan pemahaman ini tidak menepis betapa nyatanya isi pikiran saya. Artinya, kebenaran tidak melulu satu lingkup, apalagi sejalan dengan kenyataan. Imajinasi yang salah tetaplah nyata.
Memahami hal ini penting supaya kita tidak serta-merta membuang keseluruhan khayalan semata-mata karena ia dapat menyesatkan. Khayalan dapat salah, namun ia selalu nyata. Permasalahannya terletak pada memilah kenyataan pikiran yang berfaedah dari yang tidak. Pembuktiannya sederhana. Sejarah perkembangan teknologi dan peradaban manusia jelas-jelas menunjukkan bahwa kemajuan yang kita nikmati saat ini hanyalah khayalan sampai pada kurun waktu tertentu. Ada pelaku-pelaku yang rela dianggap ngawur dan gila lantaran isi khayalan mereka tak dapat dibayangkan terwujud dengan luas dalam hidup masyarakat. Teknologi adalah salah satu contoh buah khayalan yang paling berfaedah.
Masih termasuk dalam contoh khayalan yang berfaedah adalah karya seni, baik sastra, visual, pertunjukan, dan macam seni lainnya yang mampu menyentuh rasa-perasaan. Selera orang boleh berbeda satu sama lain, namun akan selalu ada macam karya seni yang mampu menyentuh rasa-perasaan. Lebih jauh lagi, sejumlah karya bahkan mampu menggerakkan kehendak lantaran betapa saratnya karya-karya tersebut akan makna. Cerita rakyat sampai pada kisah-kisah biblis dapat dimasukkan dalam hal ini. Kita boleh berdebat mengenai nilai fakta kisah-kisah biblis, misalnya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa kisah-kisah ini sarat akan faedah moral, pun bila kita mencibir nilai faktual-historis yang ingin dikemukakannya.
Kedua contoh ini, yakni teknologi dan seni, adalah penegasan bahwa ada macam khayalan yang yang amat berfaedah bagi manusia secara keseluruhan, bahkan bila sampai pada kurun waktu tertentu atau saat ini ada begitu banyak orang yang tertawa atasnya. Artinya, sekurang-kurangnya, sejumlah imajinasi mengandung ranah kenyataan yang tak tergantikan bagi kemajuan peradaban (dalam kasus teknologi) dan kemanusiaan (dalam kasus karya seni).
Pada titik ini, tugas kita adalah terus-menerus mengasah akal budi untuk mampu membedakan khayalan yang berfaedah dari yang tidak. Imajinasi atau khayalan jelas-jelas nyata. Perkaranya justru terletak pada menemukan khayalan yang berfaedah. Murid-murid sayapun memahami hal ini.
Salah satu cara memilah kenyataan yang berfaedah adalah dengan menghadapkannya dengan kenyataan hidup kita secara pribadi. Kita dapat bertanya, “Apakah khayalan ini sedikitnya menghibur diriku?” Bila ya, waktunya mengajukan pertanyaan lanjutan, “Apakah usaha mewujudkan khayalan ini, betapapun nyata atau kurang nyata, memberikan manfaat bagi perkembanganku sebagai manusia?” Di sinilah kita menyaring nilai-nilai moral yang kita peluk sebagai pribadi, entah kemajuan, kesehatan, kekayaan, kecerdasan, keberanian, dsb., dan menggunakannya sebagai batu uji untuk menilai faedah imajinasi yang sedang bersarang dalam pikiran kita.
Imajinasi itu nyata kendati tak selalu berfaedah. Namun sekalinya bermanfaat, manusia tak dapat berkembang tanpanya. Tugas Anda dan sayalah untuk memilah khayalan yang berfaedah dari yang tidak.